Kesenian Indonesia - Antara Bangga dan Prihatin



Kesenian Indonesia dalam “Arena Perjuangan”
Bangsa Indonesia adalah bangsa luas dan besar yang memiliki sekitar 17.000 buah pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil dari Sabang di Sumatera sampai Merauke di Papua. Bangsa Indonesia juga memiliki sekitar 300 suku bangsa atau etnik dengan berbagai budaya dan adat istiadat yang berbeda antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya.
Sungguh hal yang demikian adalah merupakan suatu karunia Allah SWT yang tak terhingga nilainya. Sebagai bangsa Indonesia kita harus bersyukur, karena hal tersebut merupakan suatu potensi dan kekuatan yang luar biasa bilamana dikelola dengan baik dan maksimal untuk kesejahteraan masyarakat bangsa Indonesia.
Mengenai upaya pelestarian kehidupan budaya berbasis lokal, masih ada segelintir seniman-seniman tradisi dari berbagai kebudayaan lokal Indonesia yang tak henti berupaya dengan gigih melestarikan dan mewariskan budaya Indonesia, sekalipun dukungan pemerintah minim dan kadangkala terpengaruh oleh tendensi-tendensi-tendensi global yang tak terkalahkan.
Namun dari uraian diatas, timbul pertanyaan besar, apakah di era globalisasi ini pelestarian budaya hanya cukup dilakukan segelintir seniman tradisi saja? apakah generasi muda lainnya hanya akan menjadi “turis” di negaranya sendiri? Apakah kebudayaan bangsa yang begitu beragam dan mempesona, pantas direlakan menjadi sejarah lampau yang menarik didongengkan untuk generasi berikutnya?
Bila kita runut kembali, sebagaimana perkembangan ilmu pengetahuan abad ke-20, perkembangan kebudayaan dunia yang kita capai saat ini merupakan hasil akumulasi yang telah dirintis oleh umat manusia sejak ribuan tahun yang lalu, yaitu semenjak pertama kali manusia mencoba memecahkan misteri kehidupan yang mereka hadapi dan mereka alami dalam berinteraksi dengan alam sekitar dan alam semesta yang mempengaruhi nasib dan seluruh perjuangan hidupnya. Akumulasi peradaban membuahkan suatu kebudayaan nilai-nilai yang menjadi perangkat keberadaan mereka, diantaranya dalam bentuk ilmu pengetahuan dan kesenian.
Secara terus menerus, budaya mengalami transformasi. Manusia sebagai pelaku seni selalu bepergian dari suatu tempat ketempat lain dan bersama dirinya mereka membawa dan menerima pengaruh-pengaruh artistik yang berbeda-beda. Berbagai perubahan dan konflik yang terjadi sepanjang waktu di masyarakat manapun akan meninggalkan jejaknya di dalam beraneka macam bentuk seni budaya.
Sementara itu, modernitas yang muncul sekarang mempunyai banyak konotasi. Kemajuan dalam ilmu dan teknologi mempunyai implikasi sosial dan budaya. Ketegangan peradaban modern dapat timbul dari usaha-usaha ilmu pengetahuan untuk mendominasi sistem sosial seluruhnya. Perubahan-perubahan sosial-ekonomi itu disertai pula dengan perubahan budaya. Demikian pula teknologi, implikasi dari dunia yang serba teknis adalah masyarakat menggunakan perhitungan-perhitungan yang serba rasional, sekular dan berorientasi pada efisiensi.
Tak dapat disangkal, seni merupakan arena pergulatan batin, konflik-konflik sosial, dan persoalan status dalam diri manusia, yang saling tarik-menarik secara lebih padat dibandingkan dengan ranah komunikasi sehari-hari. Jika seni dirasuki kepentingan ekonomi ataupun pengaruh aspek industrial, maka kehidupan budaya akan terganggu dan kita akan mendapati diri kita di dalam arena kehidupan yang diberi “label harga”, Mahal pula.
Dengan meningkatnya industri (terutama di kota-kota besar), Indonesia mengalami proses perubahan sosial-ekonomi tersebut. Kota-kota besar membentuk masyarakat yang sangat berbeda jauh dengan wilayah pedesaan. Keramahan dan keakraban yang ditunjukkan oleh desa dan kota kecil digantikan dengan keangkuhan kota. Maka tidak heran apabila kota besar (misalnya kota Jakarta) menimbulkan keterasingan dan membuat masyarakat semakin kaku.
Dibalik aspek industrial, ada juga aspek ideologis. Kesenian selalu bisa digunakan untuk melakukan propaganda. Pertempuran sejati yang berlangsung saat ini adalah memperebutkan siapa yang akan diperkenankan mengontrol citra dunia, yang dengan begitu akan dapat menjual gaya hidup tertentu, budaya tertentu, produk-produk tertentu, dan gagasan-gagasan tertentu. Bentuk konglomerasi budaya ini memang memiliki kekuatan yang sangat besar dan memiliki kapasitas untuk merakit produk-produk budayanya dalam jumlah besar dengan kontinuitas yang tinggi pula, dan mampu mendistribusikannya secara efektif keberbagai pelosok dunia.
Terkait dengan invasi propaganda budaya tersebut, dewasa ini banyak persoalan problematis eksistensi kebudayaan lokal Indonesia, hal ini terkait dengan ekstensi perkembangan budaya modern yang harus bergumul dan tarik-menarik pengaruh yang begitu dahsyat dengan progresi yang begitu cepat dan terus berubah seiring perkembangan industri teknologi dan komunikasi informasi, terlebih pada ibukota Jakarta.
Sementara itu, sekarang ini proses pengenalan dan interaksi pergaulan dunia telah pula menumbuhkan kebudayaan baru di Indonesia, yang bergerak menjauh dari kebudayaan Indonesia sendiri. Hal ini tentunya dikarenakan dampak terjadinya tarik-menarik pengaruh budaya industri, yang mengakibatkan kebudayaan lokal dapat terancam eksistensinya. Bahkan secara ekstrem generasi penerus kebudayaan lokal hampir “tidak terdeteksi”, generasi muda lebih menyukai budaya modern (dalam hal ini budaya barat). Sekarang ini peta seni pertunjukan tradisi hampir terasa punah atau hanya dilestarikan oleh “grup elit” untuk keperluan kepariwisataan semata.
Gaya hidup budaya modern yang dianut masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat ibukota Jakarta pada khususnya, merupakan wujud ketidakberdayaan kita menghadapi arus pergumulan interaksi antarbangsa yang semakin menyudutkan kita untuk bersikap lebih “menerima” dan menjadi pihak penyerap yang “kalah”, daripada menanamkan pengaruh budaya sendiri pada bangsa lain. Modernisasi dan globalisasi bisa mengakibatkan budaya-budaya tradisional tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berkembang, bahkan perlahan semakin “tersapu bersih”. Yang pada akhirnya hanya menuntun manusia Indonesia kepada pendangkalan-pendangkalan dan pemiskinan budaya.
Realitas membuktikan bahwa pemuda saat ini telah banyak yang lupa dan tak acuh atas eksistensi budaya Indonesia. Kebudayaan asli yang arif dan luhur dipinggirkan, terkalahkan budaya barat yang serba instan. Jika dari para pemudanya tidak memahami dan menghargainya, sudah barang tentu kebudayaan bangsa menjadi hal yang rapuh dan lapuk termakan faktor internalnya. Negara lainlah yang akhirnya memanfaatkan potensi budaya kita.
Fakta menunjukkan deretan panjang budaya kita yang diklaim negara lain, terutama Malaysia. Sebelumnya, Negeri Jiran mengklaim batik, Reog Ponorogo, alat musik angklung, Hombo Batu, lagu daerah Rasa Sayange, Tari Folaya dan yang paling hangat dibicarakan adalah pengakuan budaya Tari Pendet. Kekayaan budaya Indonesia yang telah berabad-abad berinternalisasi dalam kehidupan masyarakat daerah, dengan instannya diakui sebagai budaya negara lain.
Akan tetapi, tindakan klaim ini sebenarnya bukan sepenuhnya salah negara tetangga. Sebagai bangsa yang arif, alangkah baiknya kita merefleksikan keadaan diri sendiri. Apa saja kesalahan bangsa ini sehingga kecolongan budaya seperti ini bisa terus terjadi? Dan, tentunya pemuda sebagai generasi harapan bangsa musti mengakui jika ini juga adalah bagian dari kesalahan mereka. Pemuda seharusnya tersadar, klaim budaya oleh bangsa asing adalah akibat ketidakpedulian pemuda Indonesia untuk merawat kebudayaan sendiri.
Bahkan pada kasus nyata lainnya karena kurang diperhatikannya budaya sendiri adalah hampir punahnya pementasan wayang orang dan kuda lumping di daerah suku Jawa. Hanya segelintir orang yang mau menyaksikan pertunjukan budaya itu. Ada lagi, sejak tahun 2003 di salah satu kabupaten di propinsi Lampung, mata pelajaran Tapis, seni menyulam tradisional masyarakat, dihapuskan kemudian diganti dengan mata pelajaran komputer. Ini menjadi bukti lemahnya kekuatan masyarakat daerah (khususnya generasi muda) untuk bangga pada budayanya sendiri.
Dan yang lebih ironis, beberapa sarjana, peneliti, seniman, dan budayawan asing, sebut saja Jaap Kunst, Colin McPhee, Dieter Mack, Jenifer Lindsay dan masih banyak yang lainnya kini telah mengabdikan dirinya untuk memberikan perhatian dan kontribusi yang tidak kecil bagi kekayaan budaya bangsa Indonesia sendiri. Mereka lebih dulu menyadari dan melihat begitu besarnya potensi budaya yang dimiliki bangsa Indonesia. Sayangnya, sebegitu jauhnya orang-orang asing ini mendalami, masih sangat sedikit perhatian diberikan ilmuwan dan sarjana-sarjana seni kita sendiri terhadap apa yang sesungguhnya secara budaya kita miliki. Sarjana-sarjana seni kita lebih suka menjadi “pemulung” pengetahuan yang tidak inspiratif dalam menggali dan melahirkan premis-premis baru pengetahuan budaya sendiri. Padahal sumber-sumber budaya yang kita ketahui begitu kaya itu memiliki potensi yang begitu besar bukan saja sebagai media pengembangan identitas diri dan nilai-nilai bangsa, tetapi potensial juga dapat mengungkapkan perwujudan sebenarnya manusia Indonesia dalam seluruh tata nilainya.

Bagaimana peran pemerintah dan masyarakat?
Persoalan kini adalah dibutuhkannya langkah yang jelas dan konkrit bagaimana menciptakan kepedulian, ketertarikan apresiasi dan mempelajari kesenian lokal sebagai upaya memahami dan melestarikan warisan nilai-nilai budaya Indonesia. Untuk meningkatkan apresiasi dan antusias masyarakat tentang kesenian dan rasa bangga terhadap hasil seni budaya bangsa masa lampau, warisan budaya berupa kesenian lokal (tradisional) perlu diselamatkan, dipelihara dan ditingkatkan peranannya, baik oleh pemerintah maupun seluruh lapisan masyarakat Indonesia, terlebih partisipasi generasi muda itu sendiri. Untuk mencapai hal itu, memang bukan perkara mudah, namun setidaknya pelestarian dan pengembangan budaya sudah seharusnya ditindak-lanjuti lebih serius.
Langkah awal yang dapat ditempuh adalah prioritas jalur pendidikan yang mengarah kepada kesadaran akan budaya nasional pada setiap tingkat dari masyarakat. Jalur ini dapat terealisir optimal apabila pemerintah segera membuat rancangan undang-undang (RUU) tentang proteksi kebudayaan dan kurikulum muatan lokal. Pembuatan RUU ini tentunya harus melibatkan praktisi dan akademisi kebudayaan di Indonesia, agar konten dan bobotnya tetap memiliki kesesuaian dengan budaya asli Indonesia itu sendiri.
Pemerintah pun dapat membentuk Dewan Kebudayaan Nasional sebagai lembaga independen yang mewadahi perlindungan, pelestarian, dan pengembangan kebudayaan nasional. Pusat-pusat kegiatan kesenian tradisi (misalnya kampung budaya) dan museum perlu pula ditingkatkan jumlahnya maupun fungsinya. Upaya ini diharapkan dapat mengangkat seniman-seniman tradisi yang selama ini “terpinggirkan” (tanpa bentuk eksploitasi didalamnya), serta dapat merevitalisasi partisipasi pemuda dalam bidang kebudayaan. Mengingat pemudalah yang harus bertindak sebagai ujung tombak pelestarian budaya Indonesia di masa mendatang. Dengan demikian, pembangunan mempunyai peranan besar dalam mempertahankan identitas negara Indonesia beserta nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Disadari pula bahwa kebudayaan nasional merupakan modal utama pariwisata, yang diharapkan mampu memberikan pengaruhnya baik kepada wisatawan maupun penduduk tuan rumah. Beberapa komponen yang menjadi perhatian wisatawan perlu untuk mendapatkan perhatian di dalam pemanfaatannya, sehingga terjadi satu revitalisasi dan perkembangan yang dinamis tanpa kehilangan identitasnya, dan bukan malahan lenyap tanpa bekas karena mendapatkan pengaruh negatif dari wisatawan. Keuntungan yang diperoleh misalnya makin tumbuh dan berkembangnya gaya dan jenis kesenian lokal sebagai akibat mendapatkan tambahan pengetahuan dan kreativitas untuk itu.
Tantangan era globalisasi (terutama perkembangan teknologi informasi) pun merupakan media yang dapat difungsikan oleh Bangsa Indonesia untuk mengelola budaya nasional menjadi go internasional. Sehingga masyarakat dunia mengetahui bahwa Indonesia itu luas dan budayanya beranekaragam. Indonesia tidak hanya pulau Bali, tetapi Indonesia ada Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua dan lainnya, walaupun Bali sudah menjadi trade mark pariwisata Indonesia.
Dengan beberapa langkah-langkah diatas, bangsa Indonesia diharapkan dapat menjadikan rasa nasionalisme sebagai semangat terhadap pembangunan bangsa dalam semua aspek kehidupan, mulai dari semangat pendidikan, semangat pengembangan ekonomi nasional, semangat pengembangan teknologi dan sebagainya, sehingga semangat nasionalisme ini menjadi dasar semua nafas dan gerak masyarakat Indonesia dalam melestarikan seni budaya bangsa.

(Postingan ini merupakan sebagian isi jurnal RM Aditya Andriyanto yang berjudul "LKB Saraswati Jakarta - Upaya Pelestarian Kesenian Tradisi di Tengah Era Globalisasi").

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembelajaran Kreatif Anak Usia Dini Melalui Musik

Air Kendi dan Keajaibannya

improvisasi, kreativitas??