Jangan jadi turis di negara sendiri-LKB Saraswati

LKB SARASWATI - UPAYA SENIMAN TRADISI
MELESTARIKAN KESENIAN TRADISI BALI DI IBUKOTA JAKARTA






Membaca judulnya saja mungkin terdengar cukup heroik ditelinga kita, namun itu adalah fakta yang terjadi selama bertahun-tahun. Sebuah fenomena keironisan hiruk-pikuknya ibukota Jakarta, yang lengkap dengan segala kemodernannya, segala kehedonisannya, segala upaya kepraktisannya, mobilitas tingkat tinggi, dan masih banyak hal lainnya, namun didalamnya masih terdapat geliat segelintir seniman tradisi yang tak henti berupaya melestarikan warisan budaya Indonesia. Mereka tergabung dalam Lembaga Kesenian Bali Saraswati (LKB Saraswati) pimpinan Bapak I Gusti Kompyang Raka (yang selanjutnya lebih akrab disapa Pak Kompyang).
LKB Saraswati berdiri tanggal 3 April 1968 dengan nama Yayasan Kesenian Bali Saraswati. Pendirinya orang-orang Bali di Jakarta yang memiliki kepedulian tentang kehidupan kesenian Bali di Jakarta. Sejak berdiri hingga kini telah membuka beberapa kursus tari Bali dan melahirkan tidak kurang dari 3000 orang penari Bali dan tidak kurang dari 5000 kali mengadakan pergelaran baik di dalam maupun di luar negeri.
Penjelajahan diluar jalur kesenian tradisi seperti bergabung dengan Guruh Gipsy, Swara Mahardika, Gong 2000, Richard Mark, Tommy Page, Erwin Gutawa, Dwiki Dharmawan, Podjama, Sadao Watanabe, Elfa Secoria dan sejumlah pemusik non tradisi lainnya, memberikan pengalaman budaya yang bervariasi dalam perjalanan kiprah bekesenian di Saraswati.
Bersama I Gusti Kompyang Raka, salah satu pendiri yang kini sebagai ketua sekaligus Direktur Artistik, telah menjelajahi berbagai forum pentas internasional, antara lain: Australia, Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Hongkong, Thailand, Jepang, Cyprus, Malaysia, Belanda, Denmark, Norwegia, Italia, Swedia, Finlandia, Spanyol, Austria, Maroko, Mesir, Yunani, China, dan lain-lain.
Salah satu ciri khas Saraswati dalam menangkap pengertian profesionalisme adalah bukan semata-mata dalam konteks finansial, namun lebih mengutamakan pada kehidupan bersama, bergaul sekaligus bergulat terhadap kesenian secara terus-menerus sebagai sarana guna mencapai perilaku kehidupan yang damai, tulus dan hening, sehingga menghasilkan karya-karya yang berkualitas.
Sebelum membahas mengenai Pak Kompyang lebih jauh, pada awalnya saya (penulis) melakukan wawancara singkat dengan salah satu seniman tradisi yang menjadi praktisi sekaligus tenaga pengajar di LKB Saraswati, beliau adalah Bapak I Ketut Budiyasa (yang selanjutnya lebih akrab disapa Pak Ketut).
Mungkin timbul pertanyaan, mengapa saya tertarik menemui Pak Ketut, selain karena beliau sudah sering sekali berkolaborasi dengan berbagai jenis musik, berbagai grup, berbagai penampilan baik dalam maupun luar negeri, beliau juga merupakan orang yang sangat dipercaya Pak Kompyang selaku pendiri dan pemilik LKB Saraswati untuk mengajarkan gamelan Bali kepada murid-murid di LKB tersebut.
Pak Ketut sempat memberikan pendapat mengenai perbedaan antara berkesenian di Bali dan di Jakarta, terutama dalam menjiwai suatu permainan gamelan maupun tarian Bali. Berikut penuturannya. “Yaa kalo di Bali itu, saya sering menyaksikan grup-grup yang bagus walau pun yang masih berkembang itu sangat luar biasa dari segi menikmati permainan dia sendiri, menikmati lagu itu sendiri, sampe bagaimana dia gerak badan mengikuti alunan permainan lagu yang dia mainkan sendiri ya. Sedangkan di rantau khususnya di Jakarta, belum banyak yang dapat seperti itu, belum banyak yang dapat seperti apa yang dimainkan di Bali. Ya maklum karna mereka yang dirantau kesibukannya beda ya, situasi sudah beda dengan di Bali atau di desa-desa di perkampungan ya. Karna di Jakarta itu kan mereka sangat-sangat masih memikirkan kehidupan dulu sehingga pertemuan di sekehe atau di perkumpulan-perkumpulan gamelan itu sangat minim sekali, sehingga dia kepentingan hanya untuk acara yang penting acara itu jalan, seperti itu. Jadi belum banyak yang dia dapat untuk bagaimana main gamelan itu yang bagus, bagaimana mainkan lagu itu sendiri dengan ekspresi dan sebagainya, belum banyak. Yaa perlunya sesepuh-sesepuh, atau orang-orang yang pinter untuk datang ke rantau-rantau yang ada grup gamelan, yaa paling tidak dapat pencerahanlah dapet bagaimana sih memainkan gamelan yang bagus untuk orang yang dirantau, kira-kira begitu”, imbuh pak Ketut.
Pura Agung Tirta Bhuana, salah satu cabang sanggar Saraswati pimpinan Pak Kompyang yang beralamat di jalan Jatiluhur Raya No.1 Bekasi, kala itu dari kejauhan sudah terdengar bunyi gamelan Bali. Dan saat memasuki Pura, saya langsung takjub dengan desain arsitektur Pura tersebut, dimana ukiran-ukiran khas Bali juga turut menghiasi seisi Pura. Disana juga terdapat tempat menaruh sesajen dengan bentuk semacam candi kecil. Selain itu disana juga terdapat gapura Bali, pelataran tempat berlatih tari, panggung untuk seperangkat gamelan Bali, ruang pertemuan, sampai terdapat tempat ibadah umat Hindu.
Suasana di dalam pelataran Pura saat itu juga ramai, mungkin bertepatan dengan jadwal kegiatan belajar mengajar yang rutin dilakukan Sanggar Saraswati setiap hari sabtu. Dimana banyak murid-murid tari yang mengenakan seragam sanggar mulai dari usia taman kanak-kanak hingga mahasiswa, tentunya beserta orang tua yang mengantarkan mereka. Disamping itu, disana terdapat beberapa penabuh gamel yang juga guru, dan beberapa guru tari. Dan sungguh tak di duga, ditempat itu Pak Kompyang juga hadir untuk membantu memberikan pengarahan.
Setelah berkeliling sekitar Pura, melihat kegiatan belajar mengajar tari, menyaksikan berbagai tingkatan kelas (kelas tari anak-anak hingga dewasa) akhirnya saya pun memperhatikan pak Ketut mengajarkan gamelan ke murid-muridnya. Beberapa kali pak Ketut memberikan aba-aba mengenai cara memulai main, bagian-bagian lagu, dinamik, tempo, dan sebagainya. Tak tertinggal, kedua putra pak Ketut juga turut bermain gamelan bersama murid-murid yang lain.
Di sela-sela kesibukan Pak Kompyang memberi pengarahan, beliau menyempatkan diri untuk berbagi cerita singkat kepada saya mengenai perjalanannya berkesenian Bali di Jakarta, sungguh ini merupakan suatu kehormatan untuk saya dapat berbincang-bincang dengan beliau. Pak Kompyang berhasil membuat gamelan Bali populer di Jakarta lewat pendidikan Saraswati, yang dipimpinnya. Kini Saraswati punya banyak cabang. Totalnya 12 cabang, yang tersebar di Jakarta, Bogor, dan Bekasi.
Peserta kursusnya beragam, mulai anak-anak usia enam tahun hingga para profesional, termasuk warga asing yang tertarik pada seni tradisional Bali. "Dari sekian ratus siswa, hanya lima persen orang Bali asli, dan beberapa di antaranya bule," ujarnya. Dan sanggar Saraswati tidak hanya mengajarkan seni tari, tetapi juga gamelan Bali. Bahkan setiap musim ujian, setiap penari wajib menjalani tiga macam materi ujian, yaitu ujian tari itu, ujian gamel (memainkan gamelan) dan ujian teori seputar materi tari/ gamelan yang dipelajari semester itu.
Lebih lanjut, Lelaki asal Gianyar, Bali, ini berangkat ke Jakarta pada 1967 berbekal keterampilan menabuh gamelan. Di kota itu, ia menjadi penabuh gamelan pada Yasa Sedaya. Ini adalah yayasan seni pimpinan Sampurno, mantan Direktur Pembinaan dan Pengembangan Kesenian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kemudian, pada 1968, bersama sejumlah tokoh Bali di Jakarta, ia mulai merintis sanggar dan kursus gamelan. Dari kegigihan itu, kursus tari yang awalnya hanya di Taman Ismail Marzuki tersebut mulai mendapat tawaran di banyak tempat. "Jadi menular, minta dibukakan tempat kursus," ucapnya. Dari situlah perlahan Saraswati mulai mengembangkan sayap.
Bertahan dalam kerasnya angin modernisasi di kota besar dan plural bukan perkara mudah. "Itulah kenapa saya selalu meniatkan diri hanya untuk berkesenian," ujar Kompyang. Untuk memenuhi kepuasan batin itu, Kompyang kerap mengadakan pertunjukan di mana-mana. "Bahkan kalau mesti latihan di emperan pun tak jadi masalah," katanya.
Tidak hanya tempat kursusnya yang berkembang pesat. Nama Kompyang pun makin menanjak. Ia makin sering berkolaborasi dengan berbagai musisi. Pada 1977, bersama Guruh Sukarno Putra dan Gipsy, ia merekam album Guruh Gipsy. Ia juga pernah berkolaborasi dengan beragam musisi, seperti Erwin Gutawa, Addie M.S., Gilang Ramadhan, Dwiki Dharmawan, Elfa Secoria, dan Discus. Dengan Discus, ia ikut melawat ke festival progressive rock di Meksiko dan Amerika. Pada April 2003, Kompyang, atas nama Sanggar Saraswati, bekerja bersama dengan kelompok musik jazz asal Swiss, Podjama.
Selain itu Pak Kompyang juga pernah digandeng grup band rock GodBless, berkolaborasi dengan musik dangdut bersama Meggy Z., hingga meracik gamelan dengan keroncong yang kemudian di pamerkan di Jepang. "Semua itu pernah saya rasakan," katanya.
Suami I G.A. Ratnawati ini tak berharap muluk dengan jalan keseniannya. Terpaan musik modern, seperti pop, jazz, dan rock, menjadi pesaing telak bagi musik tradisional gamelan Bali. "Begitu susahnya mengajak anak-anak menonton kesenian daerah atau sekadar berkunjung ke gedung kesenian," ujarnya.
Membahas mengenai generasi muda saat ini, beliau berujar “Anak-anak lebih senang menonton konser atau menghabiskan waktu seharian di rumah menyimak tayangan musik mutakhir. Tapi saya tak putus asa, saya mencoba mencari celah agar gamelan Bali bisa lebih diterima," katanya. Makanya dia sangat senang dengan berbagai macam bentuk kolaborasi musik tradisi dan modern, karena dengan begitu musik tradisi dapatdilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi muda dalam bentuk yang lain, yang lebih mengikuti jiwa zaman.
Namun deretan kesuksesan tak lantas membuat semua kreativitasnya bisa diterima masyarakat. "Banyak yang ngomong nggak selaras," tuturnya. Seniman yang masih menjadikan permainan asli gamelan Bali sebagai aturan suci menganggap kolaborasi itu melunturkan nilai-nilai sakral. "Saya bilang, kalau ada niat, bahkan minyak dan air bisa menjadi kuah sup yang enak," ujarnya. Filosofi kuah sup yang kemudian membuktikan bahwa mencari kesesuaian nada tradisi yang pentatonik dengan musik Barat yang diatonik, "Membuat kita saling belajar."
Pak Kompyang pun semakin yakin jalur ini merupakan jembatan yang ingin dipijakinya untuk masuk ke dalam kehidupan bermusik anak muda. "Paling tidak, tahu saja dulu apa itu gamelan Bali, selanjutnya baru tahap menikmati," tuturnya.
Sejujurnya beliau cukup menyesalkan sikap pemerintah yang selalu menyuarakan “Mari kita lestarikan budaya bangsa”, namun pada kenyataannya seniman-seniman tradisi masih kurang dapat perhatian dari pemerintah, terlebih menyangkut dukungan moril dan material seputar pelestarian budaya.
Namun hal ini samasekali tidak menyurutkan semangat juang duta-duta budaya seperti Pak Kompyang, Pak Ketut, dan seniman tradisi lainnya yang tergabung dalam sanggar Saraswati dalam berupaya melestarikan dan mengembangkan kekayaan budaya Indonesia, dalam hal ini khususnya budaya tradisi Bali.
Kesimpulan
Ditengah era yang semakin modern, dan globalisasi dimana-mana, LKB Saraswati yang dipimpin oleh I Gusti Kompyang Raka berhasil mempertahankan keberadaannya sebagai sanggar tradisi yang eksis memperkenalkan, melestarikan, dan mengembangkan kesenian tradisi Bali di tengah hiruk pikuk ibukota Jakarta sejak lama. Banyak prestasi yang sudah mereka torehkan, baik dalam maupun luar negeri. Walaupun dukungan langsung pemerintah kurang mereka rasakan, namun tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap berupaya melestarikan budayanya.
Mungkin LKB Saraswati merupakan bagian kecil dari segelintir kelompok-kelompok kesenian yang diperjuangkan oleh seniman-seniman tradisi Indonesia, mereka hanya berharap agar generasi muda tidak melupakan kekayaan seni bangsa, justru besar harapan generasi muda akan terus melanjutkan perjuangan mereka. Karena segenap kekayaan budaya Indonesia sepatutnya kita banggakan dan lestarikan sampai kapan pun.


[1] Tingklik, gamelan kecil dengan bilah terbuat dari bambu, jumlah bilah dan larasnya pun sama dengan gamelan/gangsa yang aslinya.

Komentar

  1. Saya anak muda yg tertarik belajar gamelan bali. ingin tanya dimana alamat2 tempat latihan gamelan bali di jakarta.saya sangat memerlukannya...thx...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembelajaran Kreatif Anak Usia Dini Melalui Musik

Air Kendi dan Keajaibannya

KEMASAN “POPULER” MUSIK KLASIK