KEMASAN “POPULER” MUSIK KLASIK

Berbicara mengenai musik klasik, musik klasik mempunyai tempatnya tersendiri dikalangan penggemar musik. Beberapa kalangan mengatakan bahwa musik klasik adalah musiknya kalangan elit. Tidak sedikit pula yang mengakui secara jujur bahwa tidak mudah untuk dapat turut menikmati musik klasik. Harus diakui bahwa musik klasik adalah jenis musik yang berkelas, musik yang tanpa belajar pasti akan mustahil atau sulit untuk dapat memainkannya. Musik klasik dianggap sebagai jenis musik yang memiliki keindahan tersendiri. Baik dari sisi harmoni maupun komposisinya. Itulah sebabnya, konduktor Leonard Bernstein di tahun ’70-an, mengucapkan sebuah semboyan: “ Musik klasik adalah musik abadi,” karena sejak pertama kali hadir dan diperdengarkan, dia tetap setia pada warna aslinya meski selalu terbuka pada suatu perubahan.

Gaya-gaya musik yang pada mulanya berkembang di Eropa ini sangat terjaga dalam perkembangan format penciptaan dan permainannya. Artinya, walaupun selalu terjadi progresi dalam tafsir dan tampilan permainan musiknya, ada kaidah pakem yang terus-menerus terpelihara dalam proses kesinambungan perkembangan sejarahnya.

Ø Gelombang Perubahan dalam “Mengemas” Musik Klasik

Namun tidak banyak masyarakat dunia menyadari, ternyata musik klasik saat ini tengah dilanda gelombang besar perubahan , Pada pertengahan tahun 1960-an komponis Amerika Walter Carlos, seorang profesional dalam bidang musik dan tekno-elektronik, membuat eksperimen musik klasik pertama yang menggemparkan di studio musik elektronik miliknya. Ia memodulasi dan mengaransmen karya-karya komponis musik Barok Johan Sebastian Bach (1685-1750) dalam teknik output Synthesizer yang dikenal dengan sebutan Switched on Bach, The Well Tempered Synthesizer, dan sebagainya (antologi karya-karya keyboard Bach terkumpul dalam buku asli The Well Tempered Clavier). Sebagai contoh, percobaan re-arrangement karya Bach The Bradenburg Concert dengan sistem electronic synthesizer membuktikan bahwa dengan perangkat media elektronik seperti itu (electronic devise), jalur-jalur garis suara musik dalam bagian-bagiannya yang lebih detail bisa terinci jauh lebih jelas seperti layaknya dalam teori analis musik yang tajam dan transparan. Percobaan-percobaan Carlos ini mengilhami pekerja seni musik rock seperti Keith Emerson (Emerson, Lake and Palmer), Brian Eno (Rocy Music), Rick Wakeman (Yes) pada tahun 1970-an, tatkala instrumen gitar (electronic synthesizer) menjadi roh khazanah musik ini.

Demikianlah, pada tahun 1980-an orang tak lagi begitu dikejutkan mendengar tema utama bagian keempat Symphony No. IX Beerthoven yang ditulis berdasar epik-puisi karya pujangga besar Schiller "An die Freude"—atau tema-tema utama karya simfoni Mozart, Symphony Yupiter, Symphony Musim Semi—disadur sepenuhnya dalam gaya musik pop, rock, atau jazz. Tirai-tirai dikotomi musik hiburan vs musik serius semakin tersibak lebar, memancarkan keraguan apakah sebenarnya semua musik itu penghiburan atau hiburan.

Andre Rieu seorang pemain biola yang mahir sekaligus Conductor dari Johann Strauss Orchestra. Sepanjang karir bermusiknya, ia sudah meraih 2 buah World Music Award dan 8 kali meraih platinum music award. Andre Rieu menjadi begitu fenomenal berkat kepopulerannya yang justru diperoleh dari pemberontakannya atas norma-norma yang selama ini lazim dianut para penggemar musik klasik untuk antara lain disiplin berdiam diri ditempat duduknya dalam menikmati pegelaran musik. Dia tampil dengan pakaian yang sangat rapih sebagaimana dikenakan oleh seorang musisi klasik dan juga seorang conductor, akan tetapi dengan bahasa tubuh serta penampilan yang sangat urakan dalam ukuran-ukuran yang biasanya terjadi pada pegelaran musik klasik, sang conductor sekaligus pemain biola yang mahir dengan tampilan gaya bintang music rock, sambil mengajak semua penonton berpartisipasi mengikuti irama lagu yang dimainkannya.

Melihat beberapa fenomena pagelaran musik klasik yang “unik” pada era modern ini, musik klasik yang tadinya dianggap “angker” pun mulai dilirik oleh pihak indusitri musik populer untuk dikemas ulang menjadi komoditi yang komersil (seni populis). Ide-ide menciptakan seni yang unik, aneh dari suatu seni yang sudah ada sebelumnya semakin muncul. Hal ini seolah-olah menegaskan bahwa musik klasik yang telah diciptakan ratusan tahun yang lalu juga dapat mengalami suatu perubahan yang cukup radikal. Bahkan memungkinkan terciptanya jenis musik baru.

Ø Kemunculan Musik “Crossover

Beberapa gelombang perubahan dalam “mengemas” musik klasik yang telah disebutkan diatas, dewasa ini memicu suatu kemunculan genre musik yang dapat dikatakan “Baru”, sebuah fenomena yang ramai diperbincangkan yaitu musik “Crossover”, apa itu musik “Crossover”?

Di era modern dengan genre musik yang kian beragam, komposisi klasik seringkali dihadirkan dengan “rasa” berbeda, mengingat musik ini juga selalu diapresiasikan secara berkelanjutan sehingga memungkinkan terjadinya perubahan (Continuity & Change). Komposisi baru ini dikenal dengan nama “Crossover”, sebagai hasil “perkawinan” antara musik klasik dengan modern, atau dengan bahasa yang lebih lugas: Musik klasik yang dimainkan dengan gaya kontemporer. Banyak yang mengapresiasi gaya klasik baru ini, namun tidak sedikit pula yang menentangnya. Terlepas dari perdebatan di atas, sesungguhnya musik klasik merupakan karya yang mampu bertahan selama berabad-abad dalam ruang yang tak pernah sama.

Crossover adalah istilah yang diterapkan pada karya musik atau penampil yang muncul pada dua atau lebih dari grafik selera musik yang berbeda. Jika grafik kedua adalah grafik pop, maka musik jenis lain yang tergabung didalamnya tentu memiliki kemungkinan besar meraih popularitas. Dalam beberapa konteks istilah "crossover" yang dapat memiliki konotasi negatif, menyiratkan sifat-sifat khas musik untuk mengakomodasi selera massa.

Beberapa musisi yang juga berperan besar dalam memperkenalkan musik klasik crossover ini diantaranya:

· Maksim Mrvica, seorang pianis kelahiran Šibenik, sebuah kota di pesisir pantai Adriatic, Kroasia ini, dianggap sebagai sosok yang mampu membawa musik klasik pada level berbeda. Kepopulerannya terangkat sejak mengemas ulang nomor pendek Rimsky-Korsakov, The Flight of the Bumblee-Bee (terdapat pada album the piano player, yang dirilis EMI ).

· Vanessa Mae, seorang pemain biola yang mempopulerkan musik klasik ke segala usia dengan caranya sendiri. Ia menyisipkan beberapa karya Johann Sebastian Bach dalam album Violin Player, yang laris terjual jutaan kopi di 22 negara.

· BOND – Quartet strings sebuah kuartet gesek yang terdiri dari empat wanita asal Australia dan Inggris. Mereka adalah Haylie Ecker (biola satu) , Eos (biola dua), Tania Davis (biola alto), dan Gay-Yee Westerhoff. Mereka berhasil meramu karya-karya musik klasik dengan gaya disco atau beat dalam beberapa albumnya.

Ø Kebimbangan dalam Estetika Musik Klasik

Munculnya musisi-musisi yang mengusung aliran Crossover memang mengundang pro dan kontra dari kalangan yang mengaku pecinta musik klasik serius. Satu pihak beranggapan bahwa aliran crossover dapat membantu memperkenalkan komposisi klasik pada anak-anak muda, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan apresiasi mereka pada musik klasik. Sebaliknya, mereka yang negatif punya pandangan bahwa Crossover cenderung merusak karya-karya klasik yang sudah berabad-abad dimainkan dengan ‘pakem’ yang standar dan baku.

Kadang-kadang proses adaptasi karya klasik menjadi musik Crossover memang terasa agak kelewatan. Misalnya ketika Ode to Joy dari Simfoni nomor 9 Beethoven yang terkenal itu diadaptasi ke dalam versi hip-hop. Seandainya Beethoven bisa bangkit dari kuburnya, dia pasti akan shock mendengarkan karyanya ‘dinyanyikan’ dengan begitu rupa.

Yang masih dalam bentuk wajar misalnya yang dilakukan oleh pianis Maksim. Walaupun dia meng-crossover beberapa karya musik piano klasik, mulai Rimsky-Korsakov, Frederick Chopin, Paganini, Grieg, hingga Handell, tapi ia tetap bermain sesuai partitur asli. Hanya saja musik latarnya yang dibuat kontemporer dengan memasukkan beberapa jenis instrumen modern, termasuk berupa orkestra lengkap seperti pada versi klasiknya.

Pada akhir abad ke-20 orang hanya sedikit terperangah dengan rasa kagum, tetapi tidak lagi terkejut ketika dihadapkan pada tontonan sensual gesekan virtuous pemain biola cantik Vanessa Mae yang muda ceria dalam gaya musik funky yang keklasik-klasikan. Orang juga menerimanya dengan senang hati dan tidak merasa aneh melihat gaya Bond atau Hilary Hahn yang memikat tetapi serius sebagaimana halnya orang melihat bintang opera Pavarotti atau Domingo di pentas publik yang terkesan serius, tapi menghibur. Tak usah kaget, teknologi informasi industri mencairkan dan mendekatkan segala-galanya.

Berdasarkan gambaran diatas timbul suatu pertanyaan, apakah pergelaran musik klasik kini telah mengalami proses modernisasi?

Ø Seni Populer Menurut Arnold Hauser

Dalam bukunya yang berjudul “Sociology of Art” (pada bab Pop Art), Arnold menyebutkan terdapat tiga prinsip bentuk seni yang sulit menyatu daripada digunakan, yaitu seni klasik, populer atau seni rakyat. Seni populer adalah semata produk dari industri hiburan, yang berorientasi pada konsumen penduduk kota yang setengah berpendidikan. Secara tersirat beliau tidak setuju adanya suatu pergerakan yang merusak seni tinggi (dalam hal ini musik klasik), kedalam bentuk seni populer (dalam hal ini musik Crossover). Hal ini berkaitan erat dengan tujuan, tanggungjawab, nilai, propaganda/eksploitasi komersial, dan manipulasi realitas kehidupan.

Suatu bentuk kemasan populer musik klasik merupakan sebuah degradasi terhadap nilai-nilai estetis yang terkandung di dalamnya. Jika ditinjau pada hakikatnya, karya-karya seni, entah apa aliran dan gayanya, merupakan ungkapan hati dan keprihatinan si seniman berdasarkan pengalamannya sendiri dalam konteks sejarahnya. Dalam karyanya, seniman mau mengkomunikasikan perasaan dan keprihatinannya pada penikmat seni. Arnold memandang bahwa seni dan estetika sangat berkaitan dengan pandangan filsafat. Estetikanya bercirikan analisis teknis (interpretasi sangat kuat), apologetis (antitesis terhadap industrialisasi), dan kritis (melihat kelayakan karya seni) dapat diduga berkaitan dengan masalah pengungkapan kedok-kedok ideologis, seni yang dimanipulasi, dan seni yang mengangkat kontradiksi-kontradiksi sosial (menunjuk pada realitas sosial) yang bisa memancing proses penyadaran masyarakat.

Arnold menganggap bahwa seni mengandung dua muatan sekaligus, yaitu unsur pengalaman estetis dan mimesis, atau keindahan dan kebenaran. Unsur estetis atau keindahan tampak dalam kehendak seniman untuk mengangkat pengalaman estetisnya yang mendalam ke dalam karya seninya, hingga dapat ditangkap oleh penikmat seni. Sedang unsur mimesis tampak dalam usaha seniman untuk mengangkat nilai kebenaran, yaitu realitas masyarakat yang ada. Arnold menekankan bahwa unsur mimesis ini haruslah bersifat transformatif.

Adapun tugas seniman menurut Arnold adalah untuk secara dialektis mentransformasikan perkembangan teknis dalam profesinya (sebagai seniman), membalikkan fungsi seni dari alat-alat ideologis menjadi alat-alat kritis pembebasan manusia. Berdasarkan penjelasannya ini, maka pemahaman Arnold mengenai musik lebih bersifat Messianistik, yaitu bersifat pembebasan dari segala belenggu ideologis yang meliputinya.

Ø Debat Adorno vs Benjamin

Bahkan, seorang filsuf dan musikolog Jerman dari Mazhab Frankfurt, Theodor W. Adorno berpendapat bahwa sosialisasi musik klasik dengan cara seperti itu merupakan suatu bentuk degradasi (atau lebih ekstrem dapat dikatakan dekulturisasi), sementara di sisi lain seorang kritikus kebudayaan asal Jerman, Walter Benjamin menyatakan bahwa justru sosialisasi seperti itu yang dapat membuat musik klasik dapat dikenal oleh masyarakat luas.

Debat antara Adorno dan Walter Benjamin ini berhubungan dengan sifat Benjamin yang dijuluki Janus Face, yaitu sifatnya yang selalu “bermuka dua” (tidak konsisten) dalam filsafatnya. Hal ini mengundang reaksi dari Adorno yang menimbulkan debat berkepanjangan. Pokok-pokok debat tersebut adalah:

1. Tentang Zaman Prasejarah Modernitas

Dalam tanggapannya, Adorno mengatakan bahwa zaman prasejarah modernitas bukanlah suatu zaman emas seperti dikatakan Benjamin, namun merupakan “neraka”. Ia mengkritik Benjamin yang menganut surealisme dalam melihat realitas sosial. Menurutnya, Benjamin membayangkan realitas sosial sebagai “ketidaksadaran dan mimpi kolektif”, seakan realitas sosial yang obyektif itu hanyalah hasil mimpi subyek kolektif masyarakat. Menurutnya, “teori citra dialektis” Benjamin tak bisa membedakan antara realitas obyektif dan realitas subyektif. Ketidakadilan, keterasingan, penindasan, dan hubungan-hubungan kekuasaan yang ada bukanlah mimpi, melainkan realitas yang nyata dan lahirlah yang terwujud dalam bentuk fetisisme komoditas. Fetisisme komoditas ini bukanlah sekadar mimpi yang merupakan fakta kesadaran, melainkan fakta dialektis yang seharusnya justru menghasilkan kesadaran.

Menurut Adorno, Benjamin gagal menangkap fakta ganda, yaitu emansipasi sosial dan regresi sosial. Benjamin hanya melihat unsur emansipasinya saja tanpa mengenal fakta negatif realitas sosial. Akibatnya, Benjamin menganggap zaman prasejarah modernitas sebagai “zaman emas” (prafigurasi atau mimpi tentang masyarakat tanpa kelas). Menurutnya, zaman prasejarah modernitas itu bersifat negatif sebagaimana rencana awal Benjamin.

2. Hancurnya “Aura” (Pamor) Seni

“Aura” seni adalah fungsi kultus dan ritual karya seni, atau yang sering disebut juga pamor seni. Contohnya adalah suatu tarian sakral dalam suatu upacara keagamaan atau suku (zaman yang menekankan irasionalitas) dimana setiap orang ikut berperan dalam upacara tersebut. Benjamin berusaha meneliti sejarah seni dengan konsep kunci “aura”. Mengingat seni tradisional memiliki pamor atau aura seni yang berfungsi sebagai legitimasi kultural, maka seni dan orientasinya tak pernah terlepas dari tradisi. Namun dengan munculnya Renaissance, unsur rasio mendapatkan tekanan dan seolah menggeser kedudukan dunia irasional. Maka sejak itu dunia mengalami sekularisasi. Musik pun tak luput dari proses sekularisasi itu. Basis-basis kultis dan ritual musik terpangkas. Aura seni pun hilang. Sementara itu industri seni pada zaman modern semakin gencar. Banyak barang seni yang direproduksi secara massal hingga seni semakin kehilangan nilai kesakralannya dan jatuh menjadi sarana hiburan saja.

Namun demikian, menurut Benjamin pada zaman modern muncul gerakan-gerakan yang mau memandirikan seni, yaitu gerakan l’art pour l’art. Ia juga yakin bahwa seni itu tetap membutuhkan basis, dan pada saat itu basis tersebut adalah politik. Setelah kehilangan auranya dalam ritual dan kultus, seni memiliki fungsi politik, yaitu sebagai sarana komunikasi politik.

Adorno sangat setuju dengan analisis Benjamin tentang hilangnya aura seni. Aura seni pada zaman modernitas yang didukung dengan adanya industri budaya memang telah hilang. Namun hal yang tak disetujuinya adalah anggapan bahwa usaha membangun otonomi seni merupakan usaha kontra revolusi terhadap zaman modern. Menurut Adorno, Benjamin gagal melihat akibat ganda, yaitu rasionalisasi dalam teknik produksi seni dan rasionalisasi dalam gerakan l’art pour l’art. Memang rasionalisasi l’art pour l’art telah membebaskan seni dari sifat afirmatifnya terhadap tradisi. Namun seni yang kritis haruslah membebaskan diri dari politik.

Adorno juga mengatakan bahwa Benjamin tak melihat akibat negatif dalam seni pasca-auratik yang telah kehilangan auranya. Maka Benjamin masih optimis bahwa seni bisa menjadi sarana komunikasi politik. Menurut Adorno, seni pasca-auratik itu justru telah dimanipulasi untuk tujuan-tujuan ekonomis dan komersial, propaganda ideologis, serta memapankan penindasan-penindasan. Seni pasca-auratik telah menjadi komoditas dalam kebudayaan massa. Maka seni tidak lagi merupakan hasil pengalaman estetis, melainkan justru menjadi obyek manipulasi mekanisme pasar. Musik pun terkena fetisisme komoditas, dimana “nilai gunanya” dilepaskan dan diganti dengan “nilai tukar”. Adorno melihat fakta ini terutama dalam seni musik, baik dalam musik “serius” maupun musik “ringan”. Musik menjadi barang yang bisa dipertukarkan.

Dengan membanjirnya hasil-hasil seni murahan itu, maka daya apresiasi masyarakat terhadap seni pun tumpul. Adorno memberikan contoh bahwa dengan membanjirnya musik pop dan hits, daya kritis pendengaran menurun. Mereka semakin terbiasa dengan lirik-lirik vulgar dan rumusan yang serba mekanis dan pasif. Para pendengar justru menjadi berdaya apresiasi yang rendah.

Ø Kesimpulan

Berdasarkan analisis diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pergelaran musik klasik sekarang ini sudah mengalami proses modernisasi (contohnya dalam bentuk musik klasik “Crossover”). Jika ditinjau dari pandangan teori Arnold maupun Adorno, modernisasi pergelaran musik klasik tersebut dapat mereduksi makna dan esensi dari musik klasik yang ditampilkan. Tidak ada kebebasan untuk mengekspresikan diri dalam menampilkan musik klasik, melainkan harus mengikuti skenario dari pemegang modal (sponsor) dan sistem yang sudah membatu. Sementara itu, Walter Benjamin menganggap bahwa modernisasi pergelaran musik klasik ada salah satu cara untuk mensosialisasikan musik klasik pada masyarakat.Fenomena mengemas musik klasik ini dapat dijadikan suatu refleksi mengenai kondisi pergelaran musik klasik di dunia, dimana posisi musisi-musisi klasik yang masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip pertunjukkan fine art, terhimpit oleh adanya modernisasi pada realisasinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembelajaran Kreatif Anak Usia Dini Melalui Musik

Air Kendi dan Keajaibannya

improvisasi, kreativitas??